“Noa…gendong dulu yuuuk,”
kata suamiku sambil menggendong layaknya seorang bayi.
“Apa kabar Noa? Semalam bisa
bobo? Kita kangen Noa,” kataku.
Setelah empat hari rawat
inap di klinik hewan akhirnya Noa diizinkan pulang dalam waktu yang cukup
singkat mengingat kondisi sebelumnya yang agak parah. Hasil laboratorium dengan
angka memerah, membuat dokter tidak bisa menjanjikan apa-apa pada kami. Saat sakit
ia terlihat sangat lemah dan menatap kami dengan wajah mengiba seakan mengadu.
Dengan berat hati kami meninggalkannya di klinik hewan untuk diobati. Dua hari
dirawat ia sudah bisa berteriak memanggil saat menjenguknya meski kami masih di
lantai bawah. Semua dokter yang ada di klinik hewan juga merasa takjub untuk
kasus Noa sampai jadi trending topik karena mampu bertahan. Melalui semangat
hidup, cinta, dan rasa sayang di antara kami, semua tahap krisisnya bisa dilalui dengan selamat.
Sebelumnya, saat menikah aku
baru tahu ternyata suamiku sangat tidak suka kucing. Aku menyebutnya anti kucing.
Alhamdulillah ketika anakku lahir, ternyata ia sama denganku suka kucing. Tiap
ada kucing tetangga kami sering bermain. Ketika usia TK, anakku termenung lama
menatap kucing yang mati. Sampai muncul pertanyaan yang cukup dalam darinya
mengapa harus ada kematian? Begitu juga ketika kucing tetangga Kitty melahirkan,
kami dibuat sibuk menunggu proses kelahirannya saat tengah malam. Berdua menemani Kitty sambil
memberi nama anak-anaknya yang lahir satu per satu mulai Tsubasa, Hyuga, Moci.
Akhirnya setelah diskusi
panjang dan alot dengan suami, ia mengizinkan kami memelihara kucing pemberian
alumni, campuran anggora persia namanya
Noir (dibaca: Noa) artinya hitam, karena bulunya dominan hitam.
Di sinilah banyak cerita
yang kami lewati bersama Noa yang pertama berhasil menaklukan hati suami yang
tadinya anti kucing menjadi penyayang kucing.
Noa saat datang sudah
berusia tiga tahun, masa adaptasi sekitar seminggu sehingga kami harus ekstra
hati-hati membuat ia merasa aman dan nyaman. Setiap kali keluar kandang ia
pasti sembunyi di kolong kasur atau lemari. Setelah masa adaptasi Noa semakin
lucu, menggemaskan dan senang bermain. Tatapan mata, manja, cerewet, dan
tingkahnya ternyata mampu meluluhkan hati suami yang ternyata lebih telaten
mengurus Noa dan ingat membelikan mainan kucing. Bahkan membiarkan Noa tidur bersama
di kasur.
“Hanya Noa yang pertama membuat
Abi luluh dan sayang mpus’” katanya sambil mengusap-usap. Aku sangat senang dan
bersyukur mendengar ucapannya.
Lempar tutup botol, main di
kardus, heboh dengan tali, atau apa pun yang dilihat dan disentuh Noa membuat
kami sangat terhibur dan senang dengan tingkahnya.
Kehadiran Noa menjadi
penghangat rumah, membuat kami tertawa, semakin dekat, dan saling memperhatikan
layaknya keluarga sendiri. Aku bahkan sering menghitungnya sebagai nyawa
keempat yang ada di rumah.
Saat sakit, Noa menjadi
perawat yang superketat menjaga pasiennya. Ia terus berada di sampingku, ikut
berbaring sambil kedua kakinya memegangi tanganku. Noa seperti tahu kalau aku
tidak keluar kamar pasti ada sesuatu terjadi dan ia dengan singgap menemani dan menjadi obat mujarab untukku.
Kini Noa sudah 15 tahun,
terlihat semakin tua dan enggan bermain. Namun semangat hidupnya masih ada,
menu makannya diubah dengan merebus ayam sampai lunak karena ia sulit untuk
mencerna makanan kering. Terima kasih Noa sudah menemani hari-hari kami selama
bertahun-tahun dengan setia dan tingkah lucumu yang meluluhkan hati suamiku
jadi penyayang kucing khusus karena hadirmu.
Catatan:Tulisan ini sudah dimuat di Yuk, Meong Rame-Rame yang diterbitkan oleh Media Guru tahun 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar